Saya sebetulnya kangen dengan cerita-cerita horor jadul yang nuansanya benar-benar ekstrem. Kebanyakan cerita-cerita horor yang saya dengar mungkin bisa dikatakan kurang greget. Karena memang banyaknya hanya cerita sebatas suara-suara saja, atau sekalipun penampakan pun bukannya membuat saya merinding tetapi malah membuat saya skeptis. Entah penampakan yang ia lihat itu asli atau cuma paranoid. Kemudian saya memiliki teman yang pernah mengerjakan sebuah proyek IT bersama. Dan seingat saya, saya belum pernah mengulik database cerita horornya. Begitu malam itu saya mengorek-korek dan sedikit memaksa dia agar bercerita horor, ternyata yang saya dapat justru di luar dugaan saya. Bagi saya, ceritanya layak untuk saya publikasikan. Sebut saja namanya Ahmad. Jadi ini tentang cerita rumah di masa kecilnya yang kini sudah dipugar. Sebagai gambaran, rumah Ahmad adalah sebuah rumah keluarga besar dengan taman terbuka di tengahnya. Rumah Ahmad hanya satu lantai, namun memiliki pekarangan depan dan belakang yang luas. Terakhir rumahnya memiliki pagar besi tinggi tertutup, tetapi ada celah horizontal di tengahnya. Jadi dapat sedikit terlihat teras depan dari luar. Ini kejadiannya awal tahun 2000-an. Di suatu sore menjelang magrib, di rumah hanya ada ibunya Ahmad dan adiknya. Adik Ahmad yang masih kecil duduk di pekarangan belakang rumah memanggil-manggil ibunya yang sedang berada di dapur. “Ibu, bu… itu kok ada bantal guling di pager…?” Saat ibunya mendatangi sang adik, ia melihat anaknya tengah menunjuk ke pagar belakang, memperhatikan sesuatu yang ia sebut sebagai guling tersebut. Ibunya langsung tanggap saat menyadari langit yang sudah mulai gelap. Ia langsung menggendong dengan ketakutan sang adik dan tidak berani melihat ke pagar. Adik Ahmad yang masih dapat melihat ke pagar saat digendong, masih berkata-kata. “Gulingnya ada dua…” Di suatu hari yang lainnya, kali ini siang hari. Ibunya Ahmad sedang menidurkan keponakan Ahmad yang masih sangat kecil di atas tempat tidur. Keponakannya itu sudah dapat berbicara dengan kata-kata yang sangat terbatas. Saat sedang menepuk-nepuk dan mengelus-elus si ponakan agar tidur. Sang keponakan tiba-tiba menunjuk ke atas. Telunjuknya berputar-putar seolah mengikuti apa yang sedang ia lihat di langit-langit. “Ittu… di ataasss…” Sedikit kata diucapkan oleh si keponakan dengan nada datar. Si Ibu berhenti menepuk, merinding. Langsung saja ia dekap si keponakan dan membawanya keluar kamar. Lalu apakah Ahmad sendiri pernah melihat sesuatu? Ia menjawab mungkin, tetapi ada satu hal dari ingatan masa kecilnya yang begitu menempel hingga sekarang. Jadi sewaktu Ahmad yang masih kecil ini digendong oleh ibunya di sore hari menjelang magrib di teras depan, Ahmad melihat ayahnya pulang kerja dari pagar depan, namun masuk rumah lewat pintu samping. Sebuah ingatan yang kuat dari Ahmad adalah, ada sesuatu yang mengikuti ayahnya pulang hingga masuk ke pintu samping. Kemudian Ahmad bertanya kepada saya, “Mas Nanda, tahu kuda lumping?” Saya mengangguk, “Iya, tahu.” Ahmad menjawab, “Itu yang mengikuti ayah saya mas. Sesuatu mirip kuda lumping, warnanya hitam, tapi kepalanya aja.” Saya agak bingung, “Maksudnya ada jin tanpa kepala menunggangi kuda lumping yang ngikutin ayahmu atau gimana?” Ahmad membalas, “Bukan, kepala kudanya aja. Warnanya hitam.” Kemudian di masa kecilnya, Ahmad kerap dipukuli oleh ayahnya jika pulang main tepat menjelang magrib. Maka dari itu, Ahmad kecil ketakutan jika di atas jam lima sore ia belum tiba di rumah. Di belakang rumah Ahmad ada tanah lapang warga yang biasa dipakai oleh anak-anak main sepak bola. Hari itu, Ahmad begitu asyik main bola. Saat hari sudah gelap, ia melihat ke celah pagar, was-was jika ayahnya sudah pulang kerja. Ia melihat dari lapangan, ada ayahnya sedang berjalan mondar-mandir seperti menunggu Ahmad pulang, siap memukulinya. Terlihat ayahnya memakai celana pendek yang biasa ia kenakan. Ahmad yang ketakutan langsung meninggalkan lapangan, masuk lewat pintu samping. Ia mandi, dan keluar. Ia mendapati kakeknya sedang duduk-duduk di luar. “Ayah mana, Kek?” Ahmad bertanya. “Belum pulang.” Jawab kakeknya. “Tapi tadi Ahmad lihat lewat pagar, Ayah lagi mondar-mandir di halaman. Celananya ingat banget kok itu punya ayah. Siapa lagi yang pakai?” “Salah lihat kali.” Kakeknya menjawab dengan tenang. Benar saja, ayahnya baru pulang setelah magrib. Padahal Ahmad yakin, ia melihat ayahnya lewat celah pagar dari luar, celananya sama persis dengan yang dipakai oleh ayah. Tetapi karena celah pagar hanya sepinggang orang dewasa, apa mungkin yang Ahmad lihat hanya celana ayahnya saja yang melayang mondar-mandir di balik pagar? Masih ingat cerita keponakan Ahmad yang menunjuk-nunjuk langit-langit kamar seakan melihat sesuatu? Keponakan tersebut adalah anak dari bibi Ahmad yang juga tinggal satu rumah. Sewaktu hamil, bibinya Ahmad pernah di sore hari menonton televisi, setengah berbaring di sofa. Ia melihat suaminya pulang, masuk ke rumah. “Udah pulang nih?” Suami bibi Ahmad terus berjalan menuju kamar, seperti tidak mendengar pertanyaan sang bibi. Pintu kamar tertutup, sang suami berjalan masuk ke dalam pintu, seolah menembus. “Pelan-pelan dong, masa pintu ditabrak begitu!” Ucap bibi Ahmad, dengan polosnya. Bersamaan ia kembali melihat ke arah televisi, ia melihat suaminya baru pulang dari pintu depan. “Kok, pulang lagi? Itu tadi yang jalan nembus pintu siapa?” Semenjak itu, bibi Ahmad ketakutan. Dan parahnya, setelah melahirkan ia yang dapat dikatakan paling sering menerima gangguan oleh… kalian sudah tahu. Dari berbagai gangguan, ada satu gangguan yang cukup parah. Pukul 4 pagi, menjelang subuh, bibi Ahmad terbangun ingin buang air kecil. Sebenarnya di samping kamarnya ada kamar kecil, namun ia entah kenapa memilih kamar mandi yang di seberang taman. Jadilah ia memutari rumah yang mana sebenarnya ia mengitari juga taman yang dilingkari oleh rumahnya. Saat selesai buang air, dengan mata yang masih sangat mengantuk, ia menengok ke arah taman. Ia melihat lampu taman ada dua. Padahal seingatnya lampu taman hanya ada satu di tengah taman. Ini sekarang ada dua lampu taman, yang satu kuning, dan yang satunya merah. Bersebelahan. Penasaran, ia mendatangi kedua lampu taman tersebut, mendekatinya. Yang satu benar lampu taman. Namun yang satunya… Yang satunya, yang berwarna merah, itu adalah pocong, dengan wajah yang sangat berantakan. Menyadari itu, bibinya langsung sadar seketika, namun justru tubuhnya menjadi terkunci. Ia tidak dapat bergerak dan berteriak. Hanya menatap pocong merah yang sedang mengangguk-angguk di depannya. Hingga beberapa saat, pocong tersebut melayang dan mulai terbang dengan cepat dan menghilang. Barulah bibi Ahmad dapat teriak dan berlari sekuatnya. Kemudian di malam lainnya, bibi Ahmad melihat seseorang memakai baju putih, tidak jelas siapa, sedang duduk di atas pohon sambil goyang-goyang kaki. Terakhir adalah pembantunya, yang ditinggal di rumah sendirian karena keluarga Ahmad sedang ada acara di luar sekeluarga. Sore itu, sang pembantu sedang menutup-nutupi gorden kamar satu persatu, ia melihat seorang gadis berbaju pink yang ia tidak terlalu kenal masuk ke dalam kamar adik perempuan Ahmad. “Neng, udah pulang?” Tanya sang pembantu. Tidak ada jawaban. Akhirnya sang pembantu masuk ke kamar sang adik dan tidak menemukan seorang pun. Padahal tadi ia dengan jelas sekali melihat seorang gadis yang mirip adik Ahmad masuk ke kamarnya. Ia kemudian pelan-pelan menunduk dan memeriksa kolong kasur. Kosong. Setelah itu ia pelan-pelan memeriksa belakang lemari… Kosong juga. Akhirnya ia sadar jika keluarga Ahmad sedang bepergian seluruhnya dan ia sendirian. Ia akhirnya teriak dan meninggalkan rumah saat itu juga. Saat keluarga Ahmad pulang, sang pembantu mengadu kepada orang tua Ahmad tentang gadis itu. Tiba-tiba ibunya Ahmad menyahut, “Jangan-jangan itu tuh yang sama juga kayak waktu itu.” Lalu ibunya Ahmad bercerita bahwa waktu itu suaminya, yakni ayahnya Ahmad, pulang larut malam. Dan waktu itu keluarga Ahmad sedang tidak memiliki pembantu dan memang sedang mencarinya. Saat masuk ke rumah, ayah Ahmad bertanya jika sudah dapat pembantu. Ibunya Ahmad menggeleng. Ayahnya Ahmad kembali bertanya, “Terus itu tadi ada mbak-mbak pakai baju pink pakai celemek lagi nenteng keranjang pakaian masuk ke kamar belakang itu siapa?” Inilah mengapa saya sangat menyenangi cerita-cerita horor jadul…
Banyakurusan yang perlu diselesaikan untuk proses pembelian rumah. Antara yang saya ingat selain urusan lawyer, adalah penilaian rumah. Untuk urusan nih x ada pilihan, kami menggunakan panel yang bank telah tentukan. Pihak valuer akan datang ke rumah untuk membuat penilaian dan mengambil gambar.Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Kehidupan adalah tentang melakukan milyaran perjalanan yang terkadang diantaranya tak memiliki arah yang jelas. Dalam setiap perjalanan, seseorang pasti pernah merasa salah jalan dan takut tak mampu kembali ke jalan yang seharusnya. Ia kemudian berhenti di satu titik persimpangan, mengemban sejuta keraguan dibenaknya. Kemana lagi arah yang harus kuambil? Atau mungkin, lebih baik jika aku kembali ke awal? Tetapi perjalanan hidup adalah tentang menemukan akhirnya, tanpa bisa memutar jalan dan pulang ke hidup adalah tentang permainan waktu, dimana kita sebagai manusia biasa hanyalah bisa mengandaikan langkah kedepan tanpa diberi kesempatan untuk mundur satu langkahpun. Pun pula hal itu terjadi pada perjalanan hidup dalam menemukan cinta abadi. Cinta yang dipercaya sebagai suatu kesempurnaan rasa yang bahkan tidak memiliki makna yang pasti. Aku pun sebagai seorang manusia, berjalan menyusuri setiap persimpangan yang ada dalam perjalanan ini. Menanyakan arah kepada setiap denting takdir, hingga singgah dalam rumah-rumah semu yang kilaunya pernah mematikan nalar. Dan kala itu, di persimpangan nan sunyi, aku menemukan sebuah rumah sederhana dengan kehangatan mentari menyinarinya. Hatiku luluh, langkahku tanpa ragu memasuki rumah itu dan enggan untuk beranjak meneruskan perjalanan. Pikirku, rumah ini sudah begitu memabukkanku, lalu untuk apa perjalanan itu? Ini cukup untuk menjadi akhir untukku, bisik hatiku saat itu. Begitu nyamannya menepi dalam lautan fana, aku lupa bahwa perjalananku belum usai. Singgahku hanyalah menunda akhirku, tetapi mau bagaimana lagi? Tubuhku telah begitu nyaman berbaring di setiap larik manis dan senyuman maut yang tergelar. Ketika aku begitu lelap dalam tidur, kesederhanaan itu beranjak. Katanya, ia telah menemukan penghuninya yang sebenarnya. Aku bergeming pada tarikan nafas pertamaku, melihat bagaimana rumah yang aku kira sebagai akhirku kini telah lenyap dan meninggalkanku dalam kesunyian. Atmosfir yang begitu dingin, membekukan jiwaku pada tempat yang begitu asing. Aku telah kehilangan persimpangan terakhir yang kutinggalkan dulu, kini semuanya terlihat semu dan langkahku tertanam dalam menutup kedua mataku, mengosongkan segala pikiran mengenai luka yang saat ini membuat tubuhku tak mampu lagi untuk bergerak. Setelah lama, keberanian berhasil menyelimutiku dan membisikkanku untuk terbangun dan kembali melihat hidup. Disana, aku kembali melihat persimpangan itu. Persimpangan yang dulu kutinggalkan, persimpangan yang seharusnya mampu membawaku kepada akhir yang sebenarnya. Kedua sudut bibirku tertarik perlahan, menyerbakkan senyuman dalam setiap semilir angin yang melalui. Kakiku kembali melangkah mendekati persimpangan yang telah lama aku cari dan terus melangkah melewatinya. Hingga aku tiba disini, diatas sebuah batu besar nan tinggi yang mampu membawaku kepada pandangan yang lebih luas atas seluruh jalanan yang ada. Aku melihatnya, rumah yang begitu familiar bagiku dan ia telah berpenghuni. Air mataku turun begitu saja, tetapi hatiku telah tersenyum lebar. Aku tidak memerlukan rumah itu lagi, karena rumahku ada dalam diriku. Perjalanan cinta abadiku adalah tentang bagaimana aku menemukan rumah bagi diriku sendiri, yang tidak akan pernah hilang. Karena selama aku ada, maka diriku pun utuh. Lihat Diary Selengkapnya
Atika Ayu Nurdiani kini berusia 24 tahun, masih muda dan memiliki rencana masa depan yang matang. Mimpinya memiliki rumah sendiri telah tertanam jauh sebelum itu, bahkan sejak masih awal duduk di bangku kuliahnya yaitu di tahun 2015. Perjalanan Atika dalam menyelesaikan kuliah sambil bekerja bisa dibilang tak mudah. Ia bekerja sambil kuliah di Universitas Budi Luhur, Ciledug, Tangerang. Namun siapa sangka dalam perjalanannya mengejar cita-citanya ia berhasil membeli sebuah rumah. Walau belum ditempati, namun Atika kini merasa lega. Sebuah rumah yang ia impikan sejak awal duduk di bangku kuliah akhirnya berhasil ia miliki. Rumah dengan luas tanah 72 m2 dan luas bangunan 36 m2 di kawasan Tigaraksa, Tangerang. Rumah yang ia cicil bersama calon suaminya. Mau punya rumah di sekitar kawasan Tangerang yang harganya masih terjangkau dan cocok untuk pasangan muda? Temukan pilihan rumahnya dengan harga di bawah Rp500 jutaan di sini! Cerita Rumah Atika Masa Depan, Kehidupan Pernikahan, Jadi Motivasi “Wah, kepikiran beli rumah memang sudah lama. Keinginan untuk punya rumah sendiri itu muncul sejak jaman awal kerja sambil kuliah!” ungkap Atika. Walau belum tahu caranya dan kapan bisa terlaksana, tapi ia telah memformulasikan keinginannya tersebut. Atika memikirkan masa depannya, salah satunya jika ia menikah nanti. Ia bercita-cita jika sudah menikah tidak mau tinggal di rumah orangtuanya, atau pun di rumah mertuanya kelak. Hal inilah yang mendasari keinginannya untuk punya rumah sendiri. Ingin mandiri, menghindari konflik, hingga keinginan untuk mengatur biduk rumah tangga sendiri tanpa ada campur tangan pihak lain umumnya memang jadi motivasi atau alasan beli rumah bagi keluarga muda. Hal yang sangat positif jika alasan ini telah tertanam sejak dini. Dan lucunya ketika ditanya apakah Atika punya kekhawatiran atau mendengar cerita orang lain sehingga ingin langsung mandiri setelah menikah? Jawabannya ternyata justru tidak. “Pengalaman-pengalaman nggak enak itu biasanya malah saya lihat dari sinteron,” katanya sambil terbahak. Dengan target yang terukur, serta memprioritaskan cara mengatur keuangan, cita-cita untuk punya rumah sendiri jelas bukan mimpi. Apalagi jika rencana ini sudah diniatkan jauh-jauh hari. Jadi ketika tiba saatnya transaksi pembelian rumah, persiapannya benar-benar sudah matang. “Selain ingin tinggal di rumah sendiri saat sudah nikah nanti, saya punya alasan lain kenapa ingin beli rumah. Dari tips yang saya baca di laman panduan properti punya rumah juga artinya sekaligus punya investasi. Karena kalau tidak diinvestasikan tuh kayaknya uangnya habis begitu saja ya. Buat ngopi-lah, buat belanjalah,” tutur Atika. Cerita Rumah Atika Bekerja untuk Biaya Kuliah dan Tabungan Beli Rumah Atika, meskipun masih sangat muda tapi memang concern dengan masa depannya. Ia bekerja untuk membiayai kuliahnya. Ia membagi waktunya untuk fokus kuliah dan kerja, hingga lulus kuliah di tahun 2020. Tak hanya untuk biaya kuliah, Atika juga menabung sedikit demi sedikit untuk beli rumah, agar semua impian dan cita-citanya tercapai. Di masa itu, Atika pun sempat berpindah pekerjaan hingga tiga kali. Motivasinya untuk mencari pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik terus dilakukannya. Ia sempat cuti kuliah setahun saat mulai pindah ke pekerjaan ketiganya. “Saya sekarang bekerja sebagai finance di Apartemen Altiz, Bintaro. Ini pekerjaan ketiga saya. Walau masih berstatus karyawan kontrak, namun gaji yang saya terima sudah mendingan,” kata Atika. Banyak cara yang ditempuh orang saat memiliki rencana untuk beli rumah. Sebut saja dengan melakukan pencarian atau browsing di situs properti mendatangi pameran properti, survei langsung ke lokasi, atau mendatangi kantor pemasaran properti. Namun sungguh beruntung bagi Atika, belum sempat melakukan pencarian rumah tapi dari kantor tempatnya bekerja ada program rumah murah yang ditawarkan untuk karyawan Jaya Real Property. Saat itu tahun 2019. Salah satu anak usaha dari Jaya Real Property membuat seminar di Bintaro Plaza, khusus mengundang karyawan-karyawan yang berminat untuk melihat presentasi perumahan baru, yaitu Grand Tigaraksa residence. Cerita Rumah Atika Masih Karyawan Kontrak Nekat Beli Rumah DP 0% “Jadi ini adalah program kantor yang ditawarkan ke karyawan-karyawan di bawah PT. Jaya. Pengembangnya datang dan kasih presentasi khusus buat kita para karyawan. Ya kalau di PT. Jaya sendiri kan perumahannya mahal-mahal ya, sudah di atas Rp 1milyar, kan berat,” ujar Atika. Harga rumah yang ditawarkan saat itu Rp214 juta, dengan DP 0%. Rumah masih indent yang akan langsung dibangun begitu proses pengajuan KPR disetujui. Karyawan yang berminat bisa langsung mendaftar dan akan dibantu segala prosesnya. Saat itu Atika mengaku tidak berpikir panjang lagi. Ia merasa bahwa ini adalah kesempatan emas. Walau masih karyawan kontrak, tetapi Atika merasa bisa mengusahakan untuk mencicilnya. Karena kapan lagi datang kesempatan seperti ini? “Saat presentasi itu, saya langsung diskusi dengan pacar. Ya jujur saja saat itu saya masih kuliah sambil kerja, cicilannya kan lumayan besar dengan kondisi saya jika harus menanggungnya sendirian. Tapi di satu sisi ini adalah kesempatan emas yang sayang jika dilewatkan,” papar Atika. Atika yang sudah menjalin hubungan dengan Tantyo Eko Prasetiyo sejak tahun 2016 memang telah menyamakan persepsi sejak awal. Tantyo saat itu juga bekerja sambil kuliah. Dan sudah merencanakan jika suatu saat akan membeli rumah bersama-sama. Keduanya merasa harus mengambil kesempatan yang datang belum tentu dua kali ini. Beberapa alasan mendasari keputusan mereka. Apalagi perumahan tersebut jaraknya cukup dekat dengan Stasiun Commuter Line Daru, hanya sekitar 10 menit waktu tempuh saja. Cerita Rumah Atika Patungan Cicilan KPR Rumah Bareng Pacar “Saya kalau ke kantor kan lintas provinsi. Nah posisi perumahan ini yang di Tangerang rasanya lebih dekat ke kantor. Kantor kan sangat dekat dengan Stasiun Pondok Ranji,” jelas Atika yang saat ini masih tinggal di rumah orangtuanya di Kemang, Jakarta Selatan, dan setiap hari ke kantornya di area Bintaro, Tangerang Selatan. Atika lalu memutuskan untuk mengambil promo tersebut dan mendaftar saat itu juga. “Dari kantor peminatnya ternyata hanya saya saja ha ha ha. Saya sendiri langsung saja daftar nggak pakai mikir,” gelaknya. Status karyawan kontrak tak membuatnya ragu. Atika tertarik karena telah mendapat penjelasan bahwa prosesnya akan dipermudah dengan bantuan dari kantor tempatnya bekerja karena masih dalam satu manajemen yang sama. “Pandemi COVID-19 membuat kantor saya untuk sementara waktu belum ada program pengangkatan untuk jadi karyawan tetap. Namun untuk proses beli rumah ini status saya dimasukkan ke golongan karyawan tetap,” jelas Atika. Persyaratan yang diminta juga dirasa Atika tidak sulit. Untuk langkah awal ia menyiapkan dokumen lengkap, seperti fotokopi KTP fotokopi Kartu Keluarga KK fotokopi NPWP slip gaji asli atau surat keterangan penghasilan minimal 1 bulan terakhir fotokopi rekening koran surat rekomendasi perusahaan. Setelah semua dokumen Atika diserahkan, lalu pihan bank melakukan survei dengan cara menelepon ke kantor Atika, juga melakukan konfirmasi ke manajernya. Hal yang ditanyakan adalah konfirmasi status karyawan serta besaran penghasilannya. Dalam satu bulan pengajuan KPR Atika pun disetujui. Atika mengambil tenor cicilan 20 tahun. Walaupun beli rumah atas nama Atika, tetapi dari awal ia sudah sharing cicilan KPR dan biaya-biaya tambahan lain pada proses akad rumah tersebut bersama Tantyo, pacarnya. “Kita patungan mulai dari awal biaya-biaya tambahan seperti biaya akad, biaya AJB, dan surat-surat lainnya yang harus dibayar cash,” jelas Atika. Cerita Rumah Atika Kawasan Hunian Prospektif di Masa Depan Proses beli rumah yang serba cepat ini membuat Atika tak sempat survei langsung ke lokasi. Patokan Atika dari penjelasan dan informasi yang didapat adalah perumahan ini dekat dengan Stasiun Daru, sehingga nantinya akan memudahkan mobilitasnya. “Sebenarnya waktu pertama kali ke sana itu kaget, karena pas masuk area perumahan suasananya sepi. Jadi saya pas ngeliat tuh kaget, kok kayak suram. Tapi mulai ke area belakang eh udah rame. Banyak yang udah nempatin, warganya juga ramah-ramah” papar Atika. Deretan rumah area depan yang dilihat Atika tersebut merupakan pembangunan gelombang 1 yang dilakukan pada tahun 2013. Banyak yang membeli rumah untuk investasi namun tidak ditempati jadinya sepi. Area perumahan ini sendiri berada di dekat kantor Pemerintahan Daerah, areanya sudah modern dan kian ramai. Berbagai fasilitas seperti ATM dan mini market juga mudah ditemui. Tigaraksa sendiri adalah sebuah kecamatan yang menjadi ibukota Kabupaten Tangerang. Dan berdasarkan potensi kawasannya, Atika percaya bahwa kawasan Tigaraksa ini dalam beberapa tahun ke depan akan jadi kawasan hunian prospektif. Semakin banyaknya proyek perumahan baru yang dibangun di kawasan ini menandakan bahwa banyak pemburu properti yang mulai mengincar rumah di kawasan ini. “Sempat kaget sih pas awal-awal ke sana Tigaraksa, karena banyak truk-truk besar. Makanya kalau ada rejeki ingin nantinya punya kendaraan roda empat supaya lebih aman,” tutur Atika. Dan dalam tiga bulan setelah akad, rumah Atika pun selesai dibangun. Cerita Rumah Atika Mulai Bisnis Online Demi Ringankan Cicilan KPR Setelah rumah berdiri namun ternyata belum bisa dihuni karena belum ada air. Pihak perumahan memang menyediakan pompa, namun pembeli diharapkan mengebor sumur sendiri. Selain itu masih ada beberapa hal lagi yang perlu Atika benahi agar rumahnya nyaman untuk dihuni. “Kita belum ada uang untuk renovasi rumah saat ini karena sedang fokus untuk acara pernikahan dulu. Rencananya kita menikah di bulan Juli tahun ini, 2021,” kata Atika. Setelah menikah, ia menargetkan satu bulan untuk beberes. Mulai dari mengebor sumur, mengisi furnitur, pasang wallpaper, dan membuat dapur di area belakang. Atika merasa rumah ini merupakan wujud dari impiannya selama ini. “Lega banget berhasil beli rumah ini. Saya ingin mendekornya sendiri dengan warna serba putih yang estetis. Apalagi di depan dan bagian belakang ada halaman,” ujarnya dengan binar mata bangga. Tanya Tanya ambil keputusan dengan percaya diri bersama para pakar kami Bagi Atika, membeli rumah adalah sebuah perjuangan. Setelah proses KPR disetujui, Atika langsung memutar otak bagaimana ia bisa mendapatkan uang tambahan untuk meringankan cicilan KPR tiap bulan. Sejak saat itu, ia menjadi re-seller dan memulai bisnis online shop yang menjual produk skincare lokal dengan nama akun maskerku_jkt yang bisa ditemui di Instagram juga Shoppe. “Saya mikir kalau mengandalkan gaji saja saya bakal ngos-ngosan. Jadi habis beli rumah, saya langsung mikir untuk memulai usaha walau kecil-kecilan,” ungkapnya. Sempat pula ia terpikir untuk menyewakan rumah tersebut, namun belum ada yang mau karena dirasa lokasinya jauh. Melihat keberhasilan Atika membeli rumah di usia muda, orangtuanya pun ikut senang dan bangga. “Kata ibu, ketika saya pindah nanti mau dibikinin pengajian, selametan,” tutur anak pertama dari dua bersaudara ini menutup perbincangan. Itulah cerita tentang impian Atika punya rumah sendiri sejak awal duduk di bangku kuliah. Impian yang berhasil diwujudkannya dalam usia yang masih sangat muda. Masih banyak lagi kisah seputar perjuangan mewujudkan mimpi punya rumah sendiri lainnya yang juga tak kalah menginspirasi. Temukan kisahnya hanya di Cerita Rumah. Hanya yang percaya Anda semua bisa punya rumah Teks Erin Metasari, Foto Zaki Muhammad
.